Breaking News

Jeritan Mahasiswa: Beban KPI Kuliah Dipangkas, Medsos Jadi “Ladang Tugas” Baru

Jakarta – Sejumlah mahasiswa di berbagai perguruan tinggi mulai mengeluhkan kebijakan baru yang mewajibkan mereka untuk memenuhi indikator kinerja utama (KPI) terkait media sosial. Alih-alih fokus pada tugas akademik seperti biasanya, mahasiswa kini harus mengalokasikan waktu dan energi mereka untuk mengisi platform digital dengan konten-konten tertentu sebagai bagian dari pemenuhan KPI kuliah.

Kebijakan ini diterapkan oleh beberapa institusi pendidikan dengan tujuan meningkatkan eksistensi dan reputasi kampus di dunia maya. Namun, bagi sebagian mahasiswa, kebijakan tersebut justru menambah beban psikologis dan fisik mereka, yang sudah sibuk dengan tugas-tugas perkuliahan, proyek, hingga persiapan ujian.

“Seharusnya kami fokus belajar dan menyelesaikan tugas akademik. Tapi sekarang, kami juga harus memikirkan cara membuat konten di media sosial agar memenuhi target KPI. Ini benar-benar melelahkan,” keluh Rina, seorang mahasiswi semester akhir di salah satu universitas ternama di Jakarta, Kamis (13/10).

Dalam kebijakan ini, mahasiswa diminta untuk secara rutin memposting konten terkait aktivitas kampus, seperti dokumentasi acara seminar, kegiatan organisasi mahasiswa, atau bahkan momen-momen belajar di kelas. Konten tersebut kemudian dihitung sebagai bagian dari kontribusi mereka kepada pencapaian KPI institusi.

Sementara itu, pihak kampus menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendongkrak branding institusi di era digital. “Media sosial adalah alat penting untuk memperkenalkan kampus kepada masyarakat luas. Dengan partisipasi aktif mahasiswa, kami berharap bisa menciptakan citra positif dan menarik minat calon mahasiswa baru,” ujar seorang perwakilan humas universitas.

Namun, banyak mahasiswa merasa bahwa kebijakan ini tidak adil karena mereka dipaksa untuk mengorbankan waktu istirahat dan produktivitas pribadi demi memenuhi target yang sebenarnya bukan bagian dari tujuan utama pendidikan. “Ini bukan tanggung jawab kami. Kami kuliah untuk belajar, bukan untuk menjadi admin media sosial kampus,” tambah Rina.

Pengamat pendidikan menilai bahwa kebijakan ini mencerminkan kurangnya pemahaman institusi tentang prioritas mahasiswa. “Mahasiswa adalah agen pembelajaran, bukan alat marketing. Memaksakan mereka untuk memenuhi KPI media sosial hanya akan mengalihkan fokus dari tujuan utama pendidikan, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan,” kata seorang pakar pendidikan dalam wawancaranya dengan media.

Di sisi lain, ada juga mahasiswa yang melihat peluang dari kebijakan ini. Mereka menganggap bahwa kegiatan memproduksi konten di media sosial dapat membantu mengasah keterampilan komunikasi digital dan branding diri. “Kalau dilihat dari sudut pandang positif, ini bisa jadi pengalaman berharga. Tapi tetap saja, seharusnya ini opsional, bukan wajib,” ujar Aditya, seorang mahasiswa jurusan komunikasi.

Meski demikian, protes dari kalangan mahasiswa terus bergulir di berbagai platform daring. Tagar seperti #TolakKPIMedsos dan #FokusAkademik sempat menjadi trending topic di media sosial, menunjukkan ketidakpuasan yang meluas. Mereka mendesak pihak kampus untuk meninjau ulang kebijakan ini dan mencari alternatif lain yang tidak memberatkan mahasiswa.

Ke depan, tantangan terbesar bagi perguruan tinggi adalah menemukan keseimbangan antara mempromosikan institusi di dunia digital tanpa mengorbankan kenyamanan dan fokus mahasiswa pada pendidikan. Apakah kebijakan ini akan direvisi, atau malah semakin diperluas? Jawabannya masih harus ditunggu, namun yang pasti, jeritan mahasiswa ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan untuk lebih bijak dalam merumuskan kebijakan yang berdampak langsung pada peserta didik.


Discover more from Berita Terkini

Subscribe to get the latest posts sent to your email.

Leave a Reply

Discover more from Berita Terkini

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading