
Tegangan politik di Timur Tengah kembali memanas setelah Israel memutuskan untuk memblokir pasokan listrik ke Jalur Gaza sebagai bentuk tekanan terhadap Hamas. Langkah ini diambil sebagai respons atas serangan roket yang dilancarkan kelompok militan Palestina tersebut, meskipun dampaknya langsung dirasakan oleh warga sipil yang sudah lama hidup dalam kondisi krisis kemanusiaan. Pemerintah Israel menyatakan bahwa blokade listrik adalah “langkah defensif untuk melindungi warganya,” namun keputusan ini menuai kecaman dari PBB, organisasi kemanusiaan, dan komunitas internasional.
Apa yang Terjadi?
Pada Senin (11/3), Israel secara resmi menghentikan aliran listrik ke sebagian wilayah Jalur Gaza melalui jaringan yang dikelola oleh perusahaan listrik negara Palestina. Pemblokiran ini menyebabkan 80% wilayah Gaza gelap gulita pada malam hari, sementara layanan kesehatan, air bersih, dan komunikasi terganggu secara signifikan. Menurut data dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), sekitar 2,3 juta warga Gaza kini kesulitan memenuhi kebutuhan dasar akibat pemutusan listrik ini.
“Kami terpaksa mengambil langkah ini untuk memaksa Hamas menghentikan serangan roket yang mengancam warga Israel,” kata juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, dalam pernyataan resmi. Ia menambahkan bahwa blokade akan dicabut jika Hamas bersedia bernegosiasi untuk mengakhiri konflik.
Dampak pada Warga Gaza
Di Gaza, situasi semakin memprihatinkan. Rumah sakit-rumah sakit hanya bisa beroperasi dengan generator listrik yang terbatas, sementara pasokan air bersih yang bergantung pada pompa listrik ikut terhenti. “Kami sudah hidup dalam blokade selama 17 tahun, dan kini kondisinya semakin buruk. Anak-anak, lansia, dan orang sakit adalah yang paling menderita,” ujar Dr. Mahmoud Abu Nada, seorang dokter di Gaza City.
Selain itu, sektor pendidikan juga lumpuh. Sekolah-sekolah terpaksa menghentikan kegiatan belajar mengajar karena tidak ada listrik untuk menyalakan lampu atau peralatan dasar. “Bagaimana kami bisa membangun masa depan jika hari ini kami tidak bisa belajar?” kata Aisha, seorang pelajar berusia 15 tahun di Khan Younis.
Reaksi Internasional
PBB dan sejumlah negara anggota Dewan Keamanan langsung mengutuk keputusan Israel. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyebut blokade listrik sebagai “tindakan tidak manusiawi yang melanggar hukum internasional.” Sementara itu, Uni Eropa menegaskan bahwa menargetkan infrastruktur sipil adalah kejahatan perang.
“Listrik adalah kebutuhan dasar manusia. Memutuskannya adalah bentuk kolektif punishment yang tidak bisa diterima,” kata Catherine Colonna, Menteri Luar Negeri Prancis, dalam sidang darurat Dewan Keamanan PBB.
Di sisi lain, Amerika Serikat dan beberapa sekutu Israel memberikan dukungan tersamar. “Kami memahami kekhawatiran Israel terhadap keamanan warganya, tetapi mendesak semua pihak untuk menghindari tindakan yang memperburuk penderitaan sipil,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Hamas dan Kelompok Palestina Bereaksi
Hamas mengecam blokade ini sebagai “terorisme negara” dan menyatakan bahwa tindakan Israel hanya akan memperkuat perlawanan Palestina. “Kami tidak akan tunduk pada intimidasi. Rakyat Gaza akan terus berjuang meski dalam kegelapan,” kata Hazem Qassem, juru bicara Hamas.
Sementara itu, kelompok-kelompok sipil Palestina mengajukan banding ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menghentikan blokade. “Ini adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Kami meminta ICJ segera turun tangan,” kata Layla Al-Shaer, aktivis HAM dari Gaza.
Analisis Geopolitik
Pengamat Timur Tengah, Dr. Ahmed Fauzi, menilai bahwa blokade listrik adalah strategi Israel untuk memicu tekanan internal di Gaza agar Hamas kehilangan dukungan rakyat. “Namun, tindakan ini justru bisa memperkuat solidaritas Palestina dan memicu simpati internasional,” katanya.
Langkah ke Depan
Komunitas internasional kini berupaya menjadi penengah. Mesir dan Qatar, yang selama ini menjadi mediator dalam konflik Israel-Palestina, telah mengajukan proposal gencatan senjata sementara agar pasokan listrik bisa dipulihkan. Namun, Israel menolak proposal ini dengan alasan “Hamas harus mengakui kekalahan terlebih dahulu.”
Sementara itu, organisasi kemanusiaan seperti Médecins Sans Frontières (MSF) dan Red Cross berupaya mengirimkan bantuan generator listrik ke Gaza, meski aksesnya sangat terbatas akibat blokade militer.
Blokade listrik ke Gaza kembali menegaskan betapa kompleksnya konflik Israel-Palestina. Di tengah upaya menekan Hamas, yang menjadi korban adalah rakyat sipil yang tidak berdaya. Dunia kini menunggu solusi damai yang benar-benar berpihak pada kemanusiaan.
Discover more from Berita Terkini
Subscribe to get the latest posts sent to your email.